Sabtu, 06 Maret 2010

Bila Kebebasan Melanggar Norma

Uji materiil UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama yang dillakukan oleh sejumlah LSM menuai pro dan kontra. UU tersebut dimohonkan uji materi oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di antaranya IMPARSIAL, ELSAM, PBHI, DEMOS, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI. Sedangkan individu yang mengajukan uji materi tersebut adalah KH Abdurrahman Wahid, Prof Dr Musdah Mulia, Prof M Dawam Rahardjo, dan KH Maman Imanul Haq.
Menurut para pemohon, pasal-pasal dalam UU No 1/PNPS/1965 menunjukkan adanya kebijakan yang diskriminatif antaragama, bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka, membatasi serta bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama seperti yang terdapat dalam UUD 1945. karena itu, UU tersebut perlu di cabut untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat Indonesia.

Sementara itu, menuut Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi UU tersebut perlu dipertahankan, karena itu, permintaan agar undang-undang tersebut dicabut atas nama demokrasi tidaklah tepat. Tanpa peraturan yang terjadi adalah anarki. Di satu sisi, orang bisa berbuat sesukanya membuat agama atau aliran kepercayaan sesuai selera. Di sisi lain, masyarakat yang tidak terima akan berbuat sesukanya untuk melakukan penghakiman. Penolakan serupa juga dilakukan oleh Muhammadiyah. menurutnya UU penodaan agama masih dibutuhkan oleh rakyat Indonesia untuk mencegah tindakan anarkisme masyarakat.

Dari Solo penolakan dilakukan sejumlah ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, YPIA, MUI se Soloraya, Kantor Depag, Dewan Dakwah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Universitas Sebelas Maret (UMS), Hizbut Tahrir (HT), PNII, FKAM, Hisbullah Sunan Bonang, FPIS, FPI, Takmirul Islam, serta Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).

Dalam konferensi pers, Jumat (19/2) di Gedung Majelis Tafsir Alquran (MTA) mereka menolak pencabutan UU tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh sejumlah LSM. Sejumlah ormas Islam tersebut juga mengeluarka empat butir deklarasi yang mereka sebut dengan Deklarasi Solo. Keempat butir tersebut adalah; pertama; Umat Islam Soloraya menolak mutlak semua permohonan tim advokasi kebebasan beragama kepada MK tentang pencabutan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Kedua; menuntut Luthfi Assyaukani ahli pemohon supaya mencabut secara resmi pernyataannya yang menghina Nabi Muhammad SAW dalam sidang MK 17 Februari 2010, dalam forum yang sama. Ketiga; mengusulkan kepada pemerintah untuk melarang semua kegiatan JIL karena telah meresahkan dan merugikan umat Islam. dan keempat; mengimbau umat Islam agar mewaspadai gerakan klandesta (gerakan rahasia) oleh kelompok atau individu yang tidak bertanggung jawab dan bertujuan melakukan de islamisasi. (Solo Pos, Sabtu, 20 Pebruari 2010).

Sebenarnya kebebasan berawal dari liberalisasi yang terjadi di barat, dimana mereka melahirkan kebebasan (freedom), persamaan (equality) dan kesempatan (opportunity). Paham ini berasal dari Yunani Kuno yang menjadi elemen terpenting pembangun peradaban Barat.
Lahirnya liberalisme dipicu oleh kekuasaan raja yang absolut. Kaum bangsawan mempunyai hak-hak istimewa, sementara rakyak hak-haknya sangat dibatasi, ditekan dan ditindas. Proses liberalisasi ditandai dengan keluarnya Maqna Charta di Inggris oleh Raja John pada tahun 1215. Charta ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John itu sendiri.
Perkembangan selanjutnya, tahun 1688 terjadinya revolusi yang mampu melengserkan Raja James II di Inggris dan Raja James VII di Scotland dan menggantinya dengan Raja William II dan Mary II. Pada saat itu, rakyat mampu mengurangi hak-hak kekuasaan sang raja. Seorang filosof Inggris, John Locke mengatakan bahwa setiap orang yang terlahir mempunyai hak-hak dasar yang tidak boleh dirampas, seperti hak hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama dan berbicara. Menurutnya, pemerintah tugasnya hanyalah menjamin hak-hak dasar tersebut.

Paham “Kebebasan” (liberty/freedom) secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776. Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi. Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan Revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon “liberty, egality, fraternity”.
Pada tahun 1748, Montesquieu mengajarkan pemisahan kekuasaan Negara (separate of powers) dalam bukunya The Spirit of the Laws. Menurutnya kekuasaan dibagi tiga; eksekutif, yudikatif dan legislatif. Sementara JJ. Rousseau dalam bukunya The Social Contract pada tahun 1762 menyatakan bahwa kekuasaan sebenarnya berada ditangan rakyat, bukan ditangan raja.

Hampir bersamaan, Voltaire menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur dalam kebebasan individu. Ketiga filosof inilah yang akhirnya pada tahun 1789 menginspirasi lahirnya Revolusi Perancis.
Sebelum Revolusi Perancis, pada tahun 1783 Amerika memerdekaan diri dari penjajahan Inggris. Pada tahun 1788 Amerika menetapkan pemerintahan demokrasi yang membagi kekuasaan menjadi tiga; presiden, konggres dan pengadilan federal. Pada tahun 1789 bersamaan dengan Revolusi Perancis, Amerika mencetuskan Bill of Right –deklarasi hak asasi manusia-. Pada tahun 1871, Bill of Right diamandemen yang isi terpentingnya adalah kebebasan berbicara, pers, beragama dan lainnya. Begitulah, kebebasan terus menggelinding bagaikan bola salju. Akhir abad 18 banyak raja-raja di Eropa yang kehilangan hak-hak istimewanya.
Tahun 1941 Presiden Amerika, Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan empat kebebasan. Kebebasan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want) dan kebebasan dari ketakutan (freedom of fear). Pada tahun 1948 PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.

Begitulah, kebebasan terus menggelinding menyerbu berbagai negara. Dalam dunia modern, kebebasan seakan menjadi ‘sila dunia’ yang wajib diterapkan. Sayangnya, kebebasan seluruhnya berkiblat ke barat dengan meninggalkan jati diri bangsa yang memiliki karakter dan keragaman masing-masing. kebebasan yang sebebas-bebasnya hanya akan menodai HAM manusia itu sendiri. Yang terjadi manusia saling menerkam atas nama kebebasan. Karena itu layak untuk direnungkan ungkapan Arthur Miller, Seniman film Amerika dalam salah satu dramanya yang berjudul; ‘After the Fall’ yang mengatakan; ‘Sesungguhnya tempat yang paling banyak kebebasan di negeriku adalah rumah sakit jiwa, sedangkan kebebasan yang sempurna adlaah ketika sakit gila’.

http://elhakimi.wordpress.com/2010/02/25/bila-kebebasan-melanggar-norma/

**** Hnacurkan kebebasan dengan KEIMANAN***
Allohu Akbaar!! Salam Perjuangan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar