Sabtu, 06 Maret 2010

Nasehatku bagi Para Wanita

Pernah membaca buku Nasehati lin Nisaa? Buku yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Nasehatku bagi Para Wanita ini
ditulis oleh seorang aalimah (ulama wanita) dari negeri Yaman yang
bernama Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah. Beliau hafizhahallah adalah putri
dari ulama ahlul hadits di masa kita, yaitu Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wad’I rahimahullah.



Ummu Abdillah adalah seorang aalimah yang memiliki banyak keutamaan.
Ummu Abdillah mengajar di madrasah nisa’ (khusus wanita) dan memiliki
beragam karya tulis ilmiyah. Di antaranya:



- Shahihul Musnad fis Syamail Muhammadiyah (tentang kesempurnaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dicetak dalam dua jilid)

- Jamius Shahih fi ilmi wa Fadhlihi (tentang keutamaan ilmu)

- Tahqiq kitab As-Sunnah Ibnu Abi Ashim

- Nasehati lin Nisa

- dan sekarang beliau masih mengerjakan Shahihul Musnad min Sirah Nabawiyah



Yang ingin saya angkat dalam artikel ini adalah bagaimana cara Syaikh
mendidik putrinya sehingga tumbuh menjadi seorang aalimah. Tema ini
mungkin jarang diangkat karena biasanya yang dipersiapkan sebagai
seorang alim atau ulama adalah anak laki-laki saja. Pernahkah kita
bercita-cita putri kita menjadi seorang aalimah? Kalau memang ada
keinginan tersebut, mungkin kita bisa bercermin terlebih dahulu dengan
metodologi Asy-Syaikh dalam mendidik putrinya.



Ummu Abdillah berkisah tentang bagaimana ayahanda beliau –Syaikh Muqbil- mendidik putri-putrinya,



… Ayahanda tidak pernah menyia-nyiakan kami, betapa pun sibuknya
beliau. Oleh karena itulah beliau sangat perhatian terhadap kami dalam
mempelajari Al-Quran. Beliau selalu menuntun kami dalam membaca
Al-Quran. Kadang beliau rekam agar hapalan kami semakin kokoh. Suatu
ketika saudari saya menghapal, dan ayahanda sedang berada di
perpustakaan. Saudariku tadi mencari beliau, ingin direkamkan
hapalannya. Beliau pun meninggalkan risetnya, merekam hapalan saudariku
lalu kembali lagi ke perpustakaan.



Begitu kami mengetahui qiraah yang baik, beliau membeli kaset qiraah
Syaikh Al-Husari untuk kami. Beliau juga membelikan untuk masing-masing
putrinya satu tape recorder tanpa radio. Ini bentuk penjagaan beliau
agar kami tidak mendengar nyanyian.



Setelah kami mengerti lebih banyak, kami dibelikan masing-masing sebuah
tape recorder dengan radionya, namun beliau tetap memperingatkan kami
terhadap nyanyian dengan keras. Dan alhamdulillah, kami menerima
peringatan tersebut. Kami tidak mendengarkan nyanyian sama sekali,
seiring dengan rasa tidak senang terhadap nyanyian.



Dalam menghapal, beliau memerintahkan kami untuk hanya menggunakan satu
mushaf dari satu penerbit karena itu akan membantu memperkokoh hapalan.
Kalau beliau melihat di tangan kami ada mushaf yang berbeda, beliau
akan memberi peringatan keras dan sangat marah.



Di antara murid beliau ada orang-orang Sudan dan Mesir yang datang
beserta istri-istrinya. Di antara istri-istri mereka ada yang mengajar
kami dengan diberi imbalan jasa oleh ayah sebagai bentuk perhatian
beliau terhadap pendidikan. Dan apabila di buku-buku yang dipergunakan
oleh para guru wanita tersebut ada gambar makhluk bernyawanya, beliau
memerintahkan kami untuk menghapusnya. Kami pun menghapus gambar-gambar
tersebut disertai dengan kebencian yang sangat terhadap gambar-gambar
itu.



Lalu setelah itu kami pun diajari ilmu-ilmu syar’i Al Kitab dan
As-Sunnah, sehingga kami pun menghafal bersama para guru tersebut dan
kami pun hapal beberapa hadits walhamdulillah.



Beliau rahimahullah terkadang bersenang-senang dan bergurau bersama
kami, dalam perkara yang diizinkan oleh Allah. Berbeda dengan
kebanyakan kaum muslimin –kecuali yang dirahmati oleh Allah- yang
bersenang-senang bersama anak-anak mereka dengan televisi, nyanyian,
permainan-permainan gila, serta kerusakan lainnya. Padahal nabi kita
bersabda, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung
jawaban tentang apa yang dipimpinnya.”



Beliau selalu melarang kami terlalu banyak keluar, dan beliau selalu mengharuskan kami untuk tidak keluar kecuali seizin beliau.



Ini apa yang dijalankan beliau semasa kami kecil.



Ada pun tentang pendidikan kami, beliau sangat ingin kami mendalami
agama Allah dan mencari bekal ilmu syar’i. Sebab itulah, beliau
mencurahkan kemampuan beliau untuk membantu kami menuntut ilmu dan
membuat kami menggunakan kesempatan kami dengan sebaik-baiknya. Beliau
selalu menyediakan waktu khusus untuk mendidik kami. Setiap hari kedua,
beliau menanyakan pelajaran yang telah lalu. Jika pelajaran itu terlalu
berat, maka beliau berikan dengan cara yang jauh lebih ringan.



Di antara pelajaran yang khusus kami pelajari di rumah adalah:

- Qatrun Nada sampai dua kali

- Syarh Ibnu Aqil sampai dua kali juga

- Tadribur Rawi

- Mushilut Thullabi ila Qowaidil I’rab (namun tidak selesai karena beliau sakit)



Majelis beliau senantiasa penuh dengan kebaikan, diskusi, dan pengarahan, sampai pun di atas hidangan makan atau via telepon.



Ketika beliau di Saudi sebelum berangkat ke Jerman, ayahanda
mengucapkan salam lewat telepon kepada saya, “Assalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh”. Saya menjawab tanpa mengucapkan,
“Wabarakatuh”. Beliau bertanya (menegur), “Mengapa tidak engkau balas
dengan yang lebih utama?” sebagai isyarat pengamalan ayat ke 86 dari
surat An-Nisa.



Terkadang beliau sengaja salah memberikan pertanyaan untuk menguji
pemahaman kami, sebagaimana itu beliau lakukan juga kepada murid
laki-laki. Kadang beliau bertanya tentang soal yang cukup berat, untuk
memberikan faedah namun disuguhkan dengan pertanyaan terlebih dahulu.
Metode ini pun diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagaimana di dalam hadits Muadz.



Kadang ketika kami menemui kesulitan dalam pelajaran atau riset kami,
beliau memerintahkan kami untuk meneruskan riset tersebut, atau beliau
mengikuti kami ke perpustakaan dan membantu kami. Inilah yang
menyebabkan kami begitu berduka karena kehilangan beliau rahimahullah.
Siapa yang akan memperhatikan kami sepeninggal ayahanda?



Beliau selalu mendidik dan mengarahkan kami dengan lemah lembut. Dan
dengan karunia Allah, kami tidak terdorong sedikit pun untuk menentang
beliau, karena semua itu adalah demi kemaslahatan dan keuntungan kami
juga. Semuanya adalah mutiara yang diuntai dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah.



Di antara yang mengagumkan pada diri beliau adalah tidak pernah kepada
kami dalam perkara ijtihad kami yang memiliki sisi pandang lain. Kalau
kami sudah memahami suatu masalah yang berbeda dengan pemahaman beliau
maka beliau tidak memaksa kami, seperti juga kebiasaan beliau bersama
murid-muridnya yang laki-laki. Beliau tidak pernah menekan mereka untuk
memahami sesuatu yang masih perlu dipertimbangkan. Ini, sebagaimana
para pembaca lihat, adalah kemuliaan yang sangat jarang ditemukan.



Beliau rahimahullah juga memperingatkan kami dari masyarakat, karena
masyarakat kami adalah masyarakat yang rusak, bersegera dalam kesesatan
dan hal-hal yang tidak berguna, kecuali yang dirahmati Allah.



Beliau juga memperingatkan kami dari sikap sombong. Beliau sangat benci
kepada wanita yang sombong terhadap suaminya, beliau mengatakan, “Tidak
ada kebaikan wanita yang seperti ini.”



Beliau mendorong kami untuk bersikap zuhud terhadap dunia yang rendah
ini. Beliau bimbing kami untuk meniatkan apa yang kami makan dan minum
untuk menguatkan kami dalam bertakwa, agar memperoleh pahala dari
Allah. Beliau katakan, “Janganlah kamu sibukkan dirimu menyiapkan
berbagai hidangan makanan. Apa yang mudah diolah, kita makan.”



Beliau bangkitkan semangat kami. Beliau bukan termasuk orang yang suka
meruntuhkan semangat keluarga dan anak-anak perempuannya. Beliau
membentuk kami dengan sebaik-baiknya, agar kami mudah dan bersemangat
untuk bersungguh-sungguh dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat.



Di antara ucapan beliau kepada saya, “Saya berharap agar kamu menjadi
wanita yang faqih.” Ya Allah, wujudkanlah harapan ayahanda, duhai Zat
yang tidak diharap kecuali kepada-Nya, tempatkanlah beliau di surga
firdaus yang tinggi.



________

(Diringkas dari buku “Secercah Nasehat dan Kehidupan Indah Ayahanda
Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I”, terbitan pustaka Al-Haura
Jogjakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar